BLOGGER TEMPLATES Memes

Selasa, 16 Oktober 2012

Kebudayaan Betawi


KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Makalah ini penulis susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Budaya Dasar. Selain itu makalah ini juga bisa digunakan untuk menambah wawasan & pengetahuan para pembaca-nya tentang kebudayaan betawi mulai dari identifikasi, produk budaya, mata pencaharian, sistem kekerabatan, sistem kemasyarakatan, serta pembangunan dan modernisasinya. Makalah ini disusun berdasarkan berbagai sumber yang penulis peroleh. Namun penulis masih merasa banyak kekurangan dalam penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan tanggapan, kritik dan saran dari segenap pembaca yang bersifat membangun. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. SEKILAS
Perbedaan adalah sesuatu yang alami dan wajar. Pernahkah kita mengamati tentang sekeliling kita? Adakah perbedaan atau persamaan di antara kita dan teman yang lain? Dalam satu kelas, mungkin ada anak yang berambut keriting, berkulit putih, cokelat atau hitam. Perbedaan warna kulit atau bentuk fisik jangan dijadikan sumber perpecahan. Dan perbedaan-perbedaan itu sangatlah mudah kita temui jika kita melihat ke dalam kebudayaan Indonesia.
Indonesia adalah negara yang kaya akan ragam budaya dan suku bangsa. Ada suku Bali, Jawa, Banjar, Madura, Toraja, dan sebagainya. Setiap suku bangsa memiliki kebudayaan sendiri-sendiri. Semua itu merupakan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Kita akan mempelajari bagaimana keragaman suku bangsa dan budaya di Indonesia. Kita dapat mengetahui suku bangsa apa saja yang hidup di Indonesia. Kekayaan suku bangsa dan budaya di Indonesia sangat beragam. Marilah kita mengenal satu persatu kekayaan budaya bangsa, agar kita dapat lebih mencintai bangsa Indonesia.

1.2. BAHASAN MASALAH
Bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang majemuk atau heterogen. Bangsa kita mempunyai beraneka ragam suku bangsa, budaya, agama, dan adat istiadat (tradisi). Semua itu tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Misalnya dalam upacara adat, rumah adat, baju adat, nyanyian dan tarian daerah, alat musik, dan makanan khas. Diperkirakan ada 300 sampai 500 suku bangsa yang tinggal di Indonesia. Perbedaan jumlah ini dikarenakan perbedaan para ahli dalam mengelompokkan suku bangsa.

Tetapi rasanya tidak mungkin jika penulis menjabarkan satu per satu suku bangsa yang ada di Indonesia ini. Maka, disini penulis memilih salah satu suku yang unik untuk kita pelajari yaitu suku betawi yang jelas sudah diketahui asal usul nya berasal dari Ibu Kota kita yaitu Jakarta.


BAB II
IDENTIFIKASI BUDAYA BETAWI

2.1. SEJARAH
Suku Betawi sebenarnya termasuk dalam kategori pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnik ini lahir dari pelbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu. Ahli Antropologi Universiti Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA menaksir, etnik Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893.
Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah dipengaruhi kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai budaya yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara dan juga kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni muzik Cina, tetapi juga ada Rebana yang berasal dari tradisi muzik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatar belakangkan Belanda.
Secara biologi, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil perkahwinan campur antara etnik dan bangsa di masa lalu. Seorang budak belian perempuan dari Bali. Diawali oleh orang Sunda, sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Melaka di semenanjung Tanah Melayu, bahkan dari China serta Gujerat di India.
Waktu Fatahillah dengan tentara Demak menyerang Sunda Kelapa (1526/27), orang Sunda yang membelanya dikalahkan dan mundur ke arahBogor. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon. Sehingga JP Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Cina, semua penduduk ini mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).
Pada awal abad ke-17 sempadan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar kubu dan tembok kota tidak aman, antara lain kerana gerila Banten dan sisa tentera Mataram (1628/29) yang tidak mau pulang. Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah bersekutu.
Ketika akhir abad ke-17, daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi yang digolongkan menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas. Sementara itu, jumlah orang Belanda masih sedikit. Ini disebabkan hingga pertengahan abad ke-19, wanita Belanda tidak ramai yang ikut serta. Akibatnya, banyak perkahwinan campur berlaku dan melahirkan sejumlah orang Indo di Batavia.
Tentang para budak itu, sebagian besar, terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali menjadi tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya. Orang Tiong Hoa senang main kartu. Lukisan A van Pers dari tahun 40-an abad yang lalu, yang diterbitkan pada tahun 1856 di Den Haag.
Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun melakukan perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada adat Tionghoa (mis. Penduduk dalam kota dan ‘Cina Benteng’ di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, mis: di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.
Keturunan orang India -orang koja dan orang Bombay- tidak begitu besar jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak diantara mereka yang bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka. Di dalam kota, orang bukan Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia. Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656.
Pada tahun 1673, penduduk dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan bangsa (demikian Lekkerkerker). Gereja Immanuel di Gambir pada pertengahan abad ke 18. Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja Immanuel. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun sepuluh ribu orang dibunuh pada tahun 1740 di dalam dan di luar kota.
Oleh sebab itu, apa yang disebut dengan orang atau Suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu.
Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan bancian, di mana dikategorisasikan berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data bancian penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
Rumah Bugis di bagian utara Jl Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota. Hasil bancian tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moors, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. foto pada kartu pos dari awal abad ke 20 menggambarkan rumah-rumah Tiong Hoa di Maester. Jalan ke kiri menuju pasar Jatinegara lama. Sedangkan jalan utama adalah Jatinegara Barat menuju arah selatan.
Namun, pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data bancian tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu. Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Moh Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi – dalam arti apapun juga – tinggal sebagai minoritas.
Pada tahun 1961, ’suku’ Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur datau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.


2.2. SISTEM MATA PENCAHARIAN
Mata pencaharian orang Betawi bisa dibedakan. Antara lain sebagai berikut :
• Mereka yang berada di tengah kota menunjukkan mata pencaharian yang bervariasi, misalnya sebagai pedagang, pegawai pemerintah, pegawai swasta, buruh, tukang seperti membuat meubel.
• Mereka yang berada di daerah pinggiran hidup sebagai petani sawah, buah-buahan, pedagang kecil, memelihara ikan, dan sekarang di antara mereka banyak yang menjadi buruh pabrik, guru, dan lain-lain.


2.3. SISTEM IPTEK
Pada umumnya banyak yang beranggapan bahwa Orang Betawi itu malas bekerja, berebut warisan, sering berkelahi, dan lain-lain. Sehingga mereka dibilang “Ngontrak di Tanah Sendiri”. Sebenarnya banyak orang- orang Betawi yang sudah sangat maju dalam hal pendidikan dan cara berpikir karena tersentuh modernisasi. Oleh karena itu mereka mempunyai visi yang jelas, tujuan hidup yang pasti dan berpendidikan. Sayangnya, citra orang Betawi yang terus-menerus ditampilkan di layar televisi adalah orang Betawi yang malas bekerja, berebut warisan, berkelahi dengan keluarga, kalaupun sekolah sifatnya mengaji gaya kampung. Karena pada umumnya mereka masih mempunyai sikap yang sama dengan pendahulunya, seperti tidak kemaruk pangkat, tidak mempunyai ambisi yang terlalu tinggi, hidup bagaikan mengikuti aliran air atau ke mana angin berembus.

2.4. SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT
Dalam penarikan garis keturunan, mereka mengikuti prinsip bilineal, artinya menarik garis keturunan kepada pihak ayah dan pihak ibu. Adat menetap nikah sangat tergantung kepada perjanjian kedua pihak sebelum perpisahan berlangsung. Ada yang menetap secara patrilokal maupun matrilokal.
Masyarakat Betawi atau Jakarta asli dalam hal susunan masyarakat dan sistem kekerabatanya, pada umumnya menganut sistem patrilineal.


2.5. SISTEM PERALATAN HIDUP
Betawi memiliki perkembangan yang bisa dikatakan paling pesat dari semua daerah yang tersebar di Indonesia. Begitu juga dengan pesatnya perkembangan teknologi yang dialami di Jakarta. Teknologi Suku Betawi didatangkan dari negara asing, seperti senjata api, kapal laut, kompas, teropong, peralatan pabrik dan bercocok tanam, dan lain sebagainya.

Masyarakat Betawi banyak mengadaptasi perkembangan peralatan teknologi yang di buat di Jepang. Sayang untuk dikatakan, tetapi masyarakat Betawi merupakan konsumen yang memiliki sifat ‘konsumtif’ yang secara langsung mempengaruhi negara kita.

2.6. SISTEM BAHASA
Bahasa Betawi merupakan bahasa sehari-hari suku asli ibu kota negara Indonesia yaitu Jakarta. Bahasa ini mempunyai banyak kesamaan dengan Bahasa resmi Indonesia yaitu Bahasa Indonesia. Bahasa Betawi merupakan salah satu anak Bahasa Melayu, banyak istilah Melayu Sumatra ataupun Melayu Malaysia yang digunakan dalam Bahasa Betawi, seperti kata “niari” untuk hari ini.
Ciri khas Bahasa Betawi adalah mengubah akhiran “A” menjadi “E”. sebagai contoh, Siape, Dimane, Ade Ape, Kenape.

2.7. SISTEM KESENIAN
Suku Betawi memiliki banyak kesenian yaitu :
*Tari Betawi
*Musik betawi
*Ondel-ondel
*Cerita rakyat
*Lenong (teater tradisional betawi)


2.8. SISTEM RELIGI
Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Menurut H. Mahbub Djunaidi kebudayaan betawi sebagai suatu subkultur hampir tidak bisa dipisahkan dengan agama Islam. Agama Islam sangat mengakar dalam kebudayaan Betawi terlihat dalam berbagai kegiatan masyarakat betawi dalam menjalani kehidupan.

2.9. UPACARA PERKAWINAN
Upacara perkawinan adat Betawi ditandai dengan serangkaian prosesi. Didahului masa perkenalan melalui Mak Comblang. Dilanjutkan lamaran. Pingitan. Upacara siraman. Prosesi potong cantung atau ngerik bulu kalong dengan uang logam yang diapit lalu digunting. Malam pacar, mempelai memerahkan kuku kaki dan kuku tangannya dengan pacar.
Puncak adat Betawi adalah Akad nikah. Mempelai wanita memakai baju kurung dengan teratai dan selendang sarung songket. Kepala mempelai wanita dihias sanggul sawi asing serta kembang goyang sebanyak 5 buah, serta hiasan sepasang burung Hong. Dahi mempelai wanita diberi tanda merah berupa bulan sabit menandakan masih gadis saat menikah. Mempelai pria memakai jas Rebet, kain sarung plakat, Hem, Jas, serta kopiah. Ditambah baju Gamis berupa Jubah Arab yang dipakai saat resepsi dimulai.


DAFTAR PUSTAKA
1. id.wikipedia.org
2. www.kompas.com
3. www.incis.or.id
4. www.sinarharapan.com
5. www.wikipedia.or.id
6. www.republika.co.id
7. www.penulislepas.com
8. www.google.com

0 komentar: